Sambil
mengernyitkan alis matanya, Bu Shizuka Hiratsuka selaku guru Bahasa Jepang di
kelasku, membacakan karyaku keras-keras tepat di depanku. Sembari
mendengarkannya, mulai terbesit keraguan akan kemampuanku dalam menulis, sebab
esai yang kubuat ini masih terasa kurang. Meski telah menggunakan beberapa
kosakata pilihan dengan cermat, esai tersebut tak bisa dikatakan sebagai karya
ilmiah. Menilik masa lalu justru terdengar seperti lelucon yang
disamarkan, dasar penulis kacangan. Rupanya kata-kata kasar yang ada di
dalamnya jadi alasan yang membuatku dipanggil ke ruang guru.
Namun
tentu saja bukan itu alasannya. Aku pun sebenarnya sudah tahu itu.
Selesai
membaca, Bu Hiratsuka menempelkan tangan ke dahinya lalu menghela napas
panjang.
"Katakan, Hikigaya. Kau ingat
tema untuk esai yang Ibu suruh kerjakan ini?"
"...ya, temanya Menilik
Kembali Masa-Masa di SMA."
"Sudah jelas, 'kan? Lalu kenapa
esai ini malah seperti surat ancaman? Memangnya kau ini teroris? Atau cuma
orang bodoh, hah?"
Bu
Hiratsuka lalu menggaruk kepalanya sambil mendesah.
Kini
aku jadi berpikir, memakai kata Ibu untuk panggilan Ibu Guru
kedengarannya lebih menambah daya tarik seksual ketimbang sekadar Guru
Perempuan saja.
Aku
menyengir selagi melamunkannya, hingga gulungan kertas menghantam kepalaku.
"Perhatikan kalau Ibu bicara!"
"I-iya."
"Tatapanmu kosong, persis ikan
mati."
"Berarti tubuh saya kaya
omega-3 dong, Bu? Berarti saya jenius banget."
Bu
Hiratsuka hanya terbengong mendengarnya.
"Hikigaya, esai murahan apa
ini? Beri Ibu penjelasan."
Tatapan
tajamnya mengarah padaku, dan pandangan geramnya cukup memberi kesan mematikan.
Sudah kuduga, untuk wanita sekasar beliau, ada sesuatu dari dirinya yang
membuatku tak berdaya hanya dengan tatapannya saja. Rasa takut yang sungguh
mencekam.
"Bagaimana, ya... saya memang
menceritakan pengalaman saya saat di SMA, 'kan? Kurang lebih ya sama saja...
belakangan ini, beberapa murid SMA juga ada yang merasa demikian... mereka juga
pernah mengalaminya, me-mereka..."
Lidahku
mendadak kaku. Aku bisa jadi gugup hanya karena berbincang dengan satu orang
saja — dan juga perempuan yang lebih tua, tak lebih.
"Sebenarnya, Ibu berharap kau
mau bercermin dari pengalaman pribadimu."
"Kalau begitu, harusnya Bu
Hiratsuka menyisipkan kata pengantar mengenai maksud temanya, dong. Jika
seperti itu, pasti akan saya kerjakan betul-betul. Singkatnya, ini kesalahan
Ibu, ya 'kan?"
"Hei, Nak. Jangan berlagak
pintar di depan Ibu, ya."
"Nak? ...yah, memang benar sih,
beda umur antara saya dengan Bu Hiratsuka memang jauh, jadi, tak masalah jika
Ibu memanggil Nak."
Wuuusshhh.
Yang
barusan ternyata sebuah tinju. Tinju yang begitu saja dilesatkan secara
tiba-tiba. Lebih penting lagi, sebuah keajaiban, karena tinju itu hanya
menyerempet di samping pipiku.
"Berikutnya tak akan meleset."
Tatapannya
penuh keseriusan.
"Ma-maaf, Bu. Saya kerjakan
lagi, deh."
Meski
sudah bersikap layaknya orang yang meminta maaf, aku masih harus berhati-hati
dalam memilih kata-kata. Dilihat dari keadaannya, Bu Hiratsuka ternyata orang
yang sulit untuk merasa puas. Sial. Haruskah aku segera memohon sambil bertekuk
lutut? Tapi itu bisa membuat celanaku kusut, dan aku harus merapikannya kembali;
membungkuk, lalu tegap kembali. Jika aku menekuk lutut kananku terlebih dulu,
aku masih bisa mendekat ke tanah. Penghormatan yang elegan juga datar.
"Asal kau tahu, bukan berarti
tandanya Ibu marah."
Ya
Tuhan. Kumohon, lepaskan aku. lepaskan aku dari situasi ini.
Sandiwara
ini sungguh klise. Itu sama saja seperti berkata, Aku enggak marah kok, jadi
bilang saja, walau ujung-ujungnya beliau tetap marah.
Secara
mengejutkan, tampaknya beliau tak benar-benar marah. Setidaknya beliau tak
marah mengenai komentar yang menyinggung perbedaan usia tadi. Atas dasar itu,
aku mengangkat lutut kananku dari tanah.
Bu
Hiratsuka mengambil sebatang rokok Seven Stars[1]
dari saku baju di dadanya yang seolah-olah menyembul keluar. Dilanjutkan dengan
mengetuk-ngetuk filter rokok tersebut ke meja — kelakuan yang biasa
dilakukan oleh orang yang sudah berumur. Setelah dirasa cukup, beliau
menyalakannya dengan pemantik yang seharga Rp.10.000 itu. Beliau lalu menghisap
rokoknya sambil memandangku dengan wajah yang serius.
"Kau masih belum bergabung pada
klub mana pun, 'kan?"
"Ya, belum."
"...oh, ya, apa kau punya
teman?"
Seakan-akan
beliau sudah tahu kalau aku memang tak punya teman.
"Sa-saya menjunjung tinggi
kesetaraan di atas segalanya. Dengan demikian, saya tak meyakini adanya sebuah
kedekatan maupun hubungan antarpribadi satu sama lainnya!"
"Singkatnya, kau tak punya
teman, 'kan?"
"Ta-tak usah blak-blakan juga kali..."
Mendengar
jawabanku, wajah Bu Hiratsuka pun berubah sumringah.
"Jadi memang benar enggak
punya, ya? Tepat seperti dugaan Ibu. Hanya dari tatapan kosongmu saja sudah
ketahuan kok!"
Kalau
sudah tahu, ya enggak usah sampai tanya-tanya seperti tadi, 'kan?
Sambil
mengangguk karena sudah mengerti, beliau memandang wajahku dengan ekspresi yang
ditahan.
"...lalu, kalau pacar atau
semacamnya? Sudah punya, belum?"
Semacamnya? Apa maksudnya itu? Kira-kira
apa tanggapan beliau jika kubilang kalau pacarku itu seorang lelaki?
"Untuk saat ini, belum."
Karena
itu aku menegaskan pada bagian untuk saat ini, dengan mempertimbangkan
segala harapan yang kelak akan terjadi di masa depan.
"Kasihan, jadi begitu, ya..."
Sambil
menjauhkan pandangannya, mata beliau pun tampak berkaca-kaca. Kuyakin itu hanya
karena asap rokok. Sudahlah, hentikan. Berhenti memandangku dengan tatapan
sentimentil itu.
Lagi
pula, untuk apa beliau mempertanyakan hal barusan? Apa beliau memang seorang
guru yang begitu peduli pada muridnya?
Apa
beliau ingin menyampaikan padaku jika suatu saat aku bisa menjadi nila setitik,
yang bisa merusak susu sebelanga?
Atau
mungkin beliau pernah bermasalah sewaktu masih menjadi murid SMA lalu kembali
ke sekolah lamanya ini sebagai seorang guru?[2]
Bisakah beliau kembali ke kehidupan lamanya saja?
"Ya sudah, kalau begitu,
kerjakan lagi saja esaimu."
"Baik."
Dan
memang akan kukerjakan.
Aku
paham sekarang. Kali ini tulisanku pasti sesuai dengan yang diharapkan; aku
harus menulisnya tanpa menyinggung pihak mana pun. Yang isinya tak beda jauh
dengan ocehan yang ada di blog para model vulgar maupun aktris pengisi suara
semacamnya, contoh:
Makan
malam kali ini apa, ya...? Ya ampun! Ternyata kari!
Begitulah.
Tunggu, lalu untuk apa ada pernyataan, Ya ampun! tadi? Jika itu hanya
untuk menandakan ekspresi terkejut, maka itu tak ada gunanya.
Hal
itu semakin memperluas sudut pandangku. Pikiranku malah semakin terganggu oleh
hal-hal yang mengikutinya.
"Biar bagaimanapun, ucapan
kasar dan sikapmu barusan sudah menyakiti perasaan Ibu. Apa tak ada yang
mengajarimu, kalau kau tak boleh membahas masalah umur di depan wanita? Karena
sikapmu tadi, jadi Ibu memaksamu untuk ikut serta dalam kegiatan Klub Layanan
Sosial. Lagi pula, yang namanya dosa juga harus dihukum, 'kan?"
Untuk
seseorang yang telah dilukai perasaannya, Bu Hiratsuka tak tampak seperti orang
yang berwibawa layaknya seorang guru. Kenyataannya beliau justru lebih ceria
dari biasanya, bahkan cara bicaranya pun dibuat lebih menggoda dan menggairahkan.
Itulah
yang kupikirkan sekarang. Kata menggairahkan biasanya membuat kita
berpikir ke arah yang tak jauh-jauh dari payudara, 'kan? Kenyataannya, mataku
sekarang malah tertuju ke arah blus yang menonjolkan payudara Bu Hiratsuka.
Itu
memang hal yang tak bisa dibenarkan... meski begitu, bisa-bisanya ada orang
yang begitu senangnya saat memberi hukuman?
"Klub Layanan Sosial? ...memangnya Ibu mau suruh
apa saya di sana?"
Selidik
demi selidik. Yang kutahu, kegiatan itu mungkin saja hal-hal semacam
membersihkan selokan, atau yang terburuk, menculik orang. Amit-amit jabang
bayi, deh.
"Ikuti saja Ibu."
Bu
Hiratsuka pun mematikan rokoknya ke asbak yang dipenuhi puntung rokok dan
sisa-sisa abu, lalu segera bangkit dari tempat duduknya. Dengan menyisakan
diriku yang tanpa kejelasan mengenai pengajuan mendadak ini, Bu Hiratsuka
ternyata telah menunggu di dekat pintu seraya menoleh ke belakang, menatapku.
"Ayo jalan!"
Disertai
suara deritan pintu dan kebingungan ini, aku pun mengikuti beliau dari
belakang.
— II —
Gedung sekolah SMA Soubu di Kota Chiba ini mempunyai gaya bangunan yang sedikit berbeda dari lainnya. Bila dilihat dari atas, kurang lebih bentuknya agak mirip dengan huruf kanji 口 (kuchi) yang berarti mulut — berbentuk seperti bujur sangkar — tapi mungkin lebih mirip dengan huruf katakana untuk suku kata ロ (ro) — bujur sangkar dengan beberapa garis yang keluar dari sudut sisinya. Lalu sepasang kaki pada bujur sangkar itu adalah gedung audio visual yang melengkapi pemandangan lansekap sekolah kami. Gedung untuk kelas mengajar menghadap ke jalan raya, sementara paviliunnya menghadap ke arah sebaliknya. Jembatan yang menghubungkan dua bangunan tersebut terletak di lantai dua, yang kesemuanya membentuk pola seperti bujur sangkar.
Gedung
sekolah ini mengapit sebuah tempat di keempat sisinya, sebuah halaman terbuka
yang diperuntukkan sebagai tanah suci para riajuu — orang-orang yang
diberkahi dengan sempurnanya kehidupan remaja mereka — yang tak lain adalah
taman pusat. Di tempat ini, mereka — baik anak lelaki maupun perempuan — saling
berbaur satu sama lain saat jam istirahat makan siang. Dilanjutkan bermain
bulutangkis setelah makan demi sebuah alasan melancarkan pencernaan.
Setelah jam pelajaran berakhir, beberapa pasang kekasih saling melontar ucapan
gombal dengan ditemani remangnya matahari senja di belakang gedung sekolah
sambil berselimutkan desiran angin laut dan bintang-bintang di atas langitnya.
Aje
gile.
Saat
melihat pemandangan itu, rasanya aku seperti melihat orang-orang yang rela
tampil habis-habisan demi sebuah peran di audisi drama remaja. Memikirkannya
saja membuatku ngilu. Andaikan aku ikut pun, mungkin aku lebih memilih
mengambil peran sebagai sebuah POHON atau semacamnya.
Bu
Hiratsuka menyusuri sepanjangan lantai linoleum itu tanpa berucap sepatah kata
pun, langkah kakinya beriring menuju ke paviliun.
Aku
punya firasat buruk tentang ini.
Terlebih
lagi, tampaknya belum ada kejelasan mengenai seperti apa kegiatan Klub Layanan
Sosial.
Yang
kutahu, Layanan Sosial bukanlah seperti kegiatan yang biasanya dilakukan
sehari-hari; sebaliknya, ini seperti layanan yang disediakan dalam
situasi-situasi tertentu. Contohnya, seorang pelayan yang melayani sang
majikannya. Dalam kasus ini, layanan bisa berupa ucapan Selamat datang,
yang bisa membuat perasaan sang majikan jadi menggebu-gebu hingga bisa
menyerukan LETSA PARTY![3]
Tapi
di kenyataannya, hal itu takkan mungkin terjadi. Eh, tunggu. Itu bukan hal yang
mustahil, asal ada kesepakatan mengenai harga sebelumnya. Namun tetap saja,
jika memang benar hal seperti itu bisa diselesaikan dengan uang, maka yang
namanya hasrat — bahkan mimpi sekalipun — apa bisa terpenuhi? Jika memang
demikian, kata Layanan tak cocok bersemat pada diriku.
Lalu
yang ada sekarang, kami sedang menuju ke paviliun. Sudah pasti akan ada
kegiatan bersih-bersih di sana, seperti memindahkan piano ke ruang musik,
membuang limbah sisa-sisa laboratorium biologi, atau menyusun koleksi katalog
perpustakaan, dan hal-hal semacamnya.
Aku
pun memberanikan diri untuk segala kemungkinan yang kelak 'kan kuhadapi.
"Asal Ibu tahu, saya punya
penyakit kronis di sekitar selangkangan, lho. Kalau enggak salah
namanya... Her-Her-Herpes, ya? Iya, itu..."
"Jika yang kaumaksud itu
Hernia, tak usah khawatir. Ibu tak melibatkanmu dalam pekerjaan kasar kok."
Beliau
menoleh ke belakang sambil menatapku dengan ekspresi mengejek, layaknya sedang
melihat orang bodoh.
Hmm.
Kabarnya, tugas-tugas itu mencakup penyimpanan barang maupun administrasinya.
Jika itu hanyalah segelintir pekerjaan ringan, berarti aku tak perlu sampai
membanting tulang.
"Penyakit ini kadang kambuh
ketika saya memasuki ruang kelas, Bu."
"Kau kok sekarang justru
terdengar seperti sniper berhidung panjang, ya? Memangnya kau ini anggota Bajak
Laut Topi Jerami?"[4]
Oh,
ternyata beliau juga senang membaca shounen manga,[5]
ya?
Terserahlah.
Selama bisa mengerjakannya, akan kukerjakan sendiri. Aku bisa mengubah diriku
layaknya sebuah mesin. Takkan jadi masalah andai kutiadakan hasrat manusiawi
ini. Kalau perlu, aku bisa menjadi sebuah sekrup.[6]
"Kita sudah sampai."
Beliau
berdiri di depan pintu ruangan tanpa berbuat sesuatu yang biasanya beliau
lakukan.
Tak
ada tulisan apa pun yang tertera di pelat nama ruangan.
Sambil
menatapnya, aku merasa ada yang janggal hingga Bu Hiratsuka mendadak membuka
pintu.
Meja
dan bangku tertumpuk rapi di pojok ruangan. Mungkin ini dulunya gudang. Setiap
perabotan unik pun menghiasi ruangan ini. Tak lebih, ini hanyalah ruang kelas
biasa.
Bicara
soal itu, di dalam ruangan tampak sebuah pemandangan yang mungkin sebuah hal
paling tak wajar bagiku, dan itu datangnya dari seorang gadis.
Gadis
itu membaca bukunya sembari dibalut sinar senja.
Pemandangan
akan dirinya bagai sebuah lukisan, yang mampu menyihir siapa pun yang
melihatnya, tak diragukan lagi, selagi ia membaca, dunia seakan mau berakhir.
Saat
kumelihatnya, tubuh dan jiwaku serasa terpisah satu sama lain.
Tanpa
sadar, tahu-tahu aku sudah ada di dalam ruangan.
Menyadari
ada yang datang, ia pun menyelipkan pembatas buku pada bacaannya lalu
menengadahkan kepalanya menghadap kami.
"Bu Hiratsuka. Saya yakin sudah
memberitahu Ibu untuk mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk."
Ciri
yang dimilikinya begitu menarik. Rambut hitamnya panjang menjuntai. Meski saat
di sekolah ia mengenakan seragam perempuan pada umumnya, namun ia seakan berada
dalam golongannya sendiri.
"Kau juga tak merespon meski
sudah Ibu ketuk."
Tampak
ada kesan tak puas saat ia mendengar jawaban Bu Hiratsuka tadi.
"Lalu, siapa anak yang tampak lola
yang bersama Ibu itu?"
Tatapan
dinginnya tertuju padaku.
Aku
tahu perempuan ini.
Yukino
Yukinoshita dari Kelas 2-J.
Tentu
saja aku hanya tahu nama dan wajahnya. Kami tak pernah terlibat pembicaraan
sebelum ini. Memangnya kenapa? Bisa terlibat pembicaraan dengan orang-orang di
sekolah saja sudah merupakan kejadian langka bagiku.
SMA
Soubu memiliki sembilan kelas yang menyesuaikan standar pendidikannya. Salah
satunya yaitu kelas dengan standar international — Kelas J. Standar rata-rata
yang dimiliki kelas tersebut bisa sampai dua atau tiga tingkat di atas kelas
reguler, dan kelas itu diisi dengan murid-murid yang pernah belajar di luar
negeri maupun mereka yang ingin berencana melanjutkan pendidikannya ke luar
negeri.
Di
antara murid-murid itu, yang sosoknya paling mencolok dan menonjol — dengan
sendirinya maupun berdasarkan pengamatan — ialah Yukino Yukinoshita.
Saat
UTS maupun UAS, nilai tinggi yang ia peroleh secara konsisten, mencantumkan
namanya sebagai juara umum di angkatan kelas kami. Seakan belum cukup,
penampilan menawan yang ia miliki membuatnya selalu dihujani perhatian
sekitarnya. Singkatnya, bisa dikatakan ia gadis paling cantik — populer dan
dikenal — satu sekolah.
Itu
sebabnya ia tak mengenalku, meski aku tak begitu peduli. Namun tetap saja, aku
masih merasa sakit hati karena disebut lola. Aku cukup yakin kalau
sebutan itu mirip dengan nama merek sebuah permen zaman dulu, yang sekarang
sudah jarang kulihat.[7]
Walau aku sudah berusaha mengalihkan hal itu, tetap saja tak mengubah fakta
kalau perkataannya memang menyakitkan.
"Ini Hikigaya. Ia mau mendaftar
ke klub ini."
Seolah
terpengaruh kata-kata beliau, tanpa sadar aku membungkukkan badan. Kuyakin
tanpa sengaja aku memperkenalkan diri.
"Namaku Hachiman Hikigaya dari
Kelas 2-F. Eng... hai! Aku bergabung ke klub ini karena..."
Lho... Sejak kapan aku mendaftar?
Lagi pula, sebenarnya klub apa ini?
Seperti
tahu apa yang akan kukatakan, Bu Hiratsuka langsung memotong.
"Sebagai hukuman, Ibu
memaksanya bergabung ke klub ini. Jadi, Hikigaya, Ibu tak akan menanggapi
segala bentuk keberatan, bantahan, protes maupun keluhanmu. Gunakan saja
waktumu itu untuk menjernihkan pikiran serta merenungi perbuatanmu."
Pernyataan
tegas yang tak bisa dibantah, tanpa menyisakan ruang untukku memberi alasan.
"Lagi pula, dari penampilannya
saja sudah terlihat kalau ia sudah busuk dari dalam. Alhasil, ia selalu berada
dalam dunianya sendiri. Kasihan sekali, 'kan?"
Jadi
aku hanya dinilai dari penampilan luarku saja.
"Ibu pikir, jika berbaur dengan
orang lain, mungkin ia bisa sedikit belajar memperbaiki sikapnya. Ibu serahkan
ia padamu. Tolong perbaiki sikap menentang dan menjauhi orang lain yang
dimilikinya itu."
Yukinoshita
langsung membalikkan badannya menghadap Bu Hiratsuka. Tampak sedikit kesal, ia
pun menjawab,
"Jika seperti itu masalahnya,
saya rasa takkan jadi masalah jika Ibu memakai kekerasan untuk
mendisiplinkannya."
Mengerikan
sekali perempuan ini.
"Andai diperbolehkan, pasti
akan Ibu lakukan, tapi di zaman sekarang hal itu bisa jadi masalah. Lagi pula,
tak akan ada yang tahan jika harus selalu memakai kekerasan."
...ya,
keluarkan saja semua uneg-uneg kalian.
"Dengan segala hormat, saya
menolak. Saya merasa ada motif terselubung di balik tatapan matanya yang busuk.
Saya merasa sedang dalam bahaya, Bu."
Sambil
menatap tajam ke arahku, Ia pun langsung membetulkan kerah bajunya, padahal tak
ada yang tampak berantakan pada caranya berbusana. Terlebih, tak ada juga yang
mau melihat dadanya yang biasa-biasa saja itu. Sungguh, takkan ada orang yang
mau. Andaikata aku tak sengaja melihatnya pun, paling-paling itu cuma dalam
hitungan detik.
"Tak usah cemas, Yukinoshita.
Mata dan hatinya memang sudah busuk, makanya ia bisa menahan diri dan
memperhitungkan untung rugi dari segala tindakan yang ia lakukan. Ia takkan berani
melakukan hal-hal yang bisa berurusan dengan aparat berwajib. Bisa dibilang, ia
tak lebih dari preman kampung."
"Bagi saya itu sama sekali
bukan pujian. Ketimbang memakai istilah untung rugi dan menahan diri,
saya lebih memilih jika Ibu memakai istilah punya akal sehat dalam mengambil
keputusan."
"Oh... preman kampung toh..."
Ucap Yukinoshita.
"Kau malah percaya kata-kata Bu
Hiratsuka daripada penjelasanku..."
Apa
mungkin kata-kata Bu Hiratsuka berhasil membujuknya ataukah memang ia percaya
kalau aku ini seorang preman kampung? Apa pun itu, sosokku di pikiran
Yukinoshita sudah jauh dari yang aku harapkan.
"Yah, jika itu memang
permintaan Ibu, apa boleh buat... mau tak mau, ya harus dilakukan."
Tanggapannya
penuh dengan rasa penolakan. Meski begitu, Bu Hiratsuka tampak tersenyum puas.
"Bagus. Kalau begitu, Ibu
serahkan sisanya padamu."
Beliau
pun pergi setelahnya. Meninggalkanku yang masih berdiri termenung.
— II —
Sejujurnya, meninggalkanku sendiri seperti ini justru membuatku lebih nyaman. Berada di lingkungan yang dikucilkan seperti ini juga sudah biasa bagiku, malah bisa membuatku merasa tenang. Bunyi jarum jam di dinding yang bergerak perlahan pun semakin jelas terdengar.
Eh,
tunggu, yang benar saja? Apa cerita ini tiba-tiba berkembang ke kisah komedi
romantis? Semuanya justru jadi tampak konyol. Walau sebenarnya aku tak punya
keluhan mengenai situasi ini.
Aku
jadi teringat lagi kenangan pahitku saat masih SMP dulu.
Jam
pelajaran telah berakhir; menyisakan dua orang murid di dalam ruang kelas.
Tirai
terkibar dengan lembutnya seiring dengan semilir angin dan remang-remang
matahari senja yang memenuhi ruangan. Kemudian, terucaplah sebuah pernyataan
cinta dari seorang anak lelaki.
Sampai
dengan saat ini, suara perempuan itu masih terngiang jelas di telingaku.
Kita
berteman saja, ya?
Sungguh
sebuah kenangan pahit. Setelahnya, kami memang berteman tapi tak pernah ada
percakapan semenjak itu. Berkat kejadian tersebut, aku jadi tak pernah lagi
berniat mencari teman, bercakap-cakap, apa lagi berpacaran. Bisa dibilang,
kisah komedi romantis yang melibatkan diriku dengan perempuan cantik dalam
ruangan tertutup, tak pernah berjalan lancar di kehidupan nyata.
Terbiasa
akan hal itu, membuatku bisa menghindari perangkap semacamnya hingga saat ini.
Para perempuan cenderung menunjukkan ketertarikannya hanya pada hal-hal sensual
atau para riajuu dan makhluk sejenisnya, lalu menjalin hubungan yang
tak sehat dengan mereka.
Singkat
kata, mereka musuhku.
Sampai
sekarang aku selalu berusaha supaya kenangan itu tak kualami kembali. Cara
tercepat agar bisa terhindar dari situasi yang seperti kisah komedi romantis
ini yaitu membuat diriku menjadi orang yang dibenci. Mungkin aku akan terluka,
namun demi harga diri ini, sikap bijak dan semacamnya tak lagi kuperlukan!
Menurut
teori, sebaiknya aku mengintimidasi Yukinoshita dengan tatapan benci.
Membiarkannya terbunuh oleh tatapan hewan buas!
Grrrr!—
Dengan
spontan ia balas memandangku seperti sedang melihat sampah. Ia memicingkan mata
diselingi desahan panjang. Dan dengan suaranya yang kecil ibarat desiran
sungai, ia menegurku,
"...daripada berdiri sambil
menggerutu di situ, kenapa kau tak ambil kursi lalu duduk?"
"Hah? Oh, benar juga. Maaf."
Wuih... apa-apaan barusan itu? Apa
memang ia seekor hewan buas?
Tatapan
seperti itu bisa membunuh lima orang tak berdosa. Sama halnya yang menimpa
penyanyi, Tomoko Matsuhima yang pernah diterkam binatang buas.[8]Apa
tanpa kusadari — tanpa sengaja — aku memohon ampun padanya? Meski ia tak punya
niat mengintimidasiku, namun Yukinoshita sudah menjadikanku layaknya seorang
tawanan. Dengan hati yang terguncang ini, kuambil sebuah kursi kosong kemudian
duduk.
Setelahnya,
ia tak begitu menunjukkan perhatiannya lagi padaku. Di saat yang sama ia
kembali membuka buku bacaannya. Terdengar suara dari lembar halaman yang ia
balik. Jika hanya melihat dari sampulnya saja, aku tak bisa tahu buku apa yang
sedang ia baca, namun mungkin itu semacam karya sastra. Mungkin saja karya
Salinger, atau Hemingway, atau bisa saja Tolstoy. Seperti itulah kesan yang ia
tunjukkan.
Yukinoshita
terlihat layaknya seorang perempuan terhormat, itu karena ia memang seorang
murid teladan, dan tanpa embel-embel apa pun, ia akan selalu jadi gadis yang
cantik. Namun layaknya orang dari kalangan elit, Yukino Yukinoshita pun
terasingkan dari segala lingkungan sosial. Seperti halnya namanya, yuki no
shita no yuki (salju di bawah salju), seberapa pun cantik dirinya, takkan
ada yang bisa menyentuh ataupun menjangkaunya. Yang bisa orang-orang lakukan
hanyalah membayangkan kecantikannya saja.
Sejujurnya,
aku tak pernah mengira bakal bisa duduk berdekatan dengannya. Kalau saja aku
punya teman, pasti aku membanggakan hal ini pada mereka; mungkin aku akan
bertanya apa yang harus kuperbuat dengan si Nona Cantik di ruangan ini.
"Ada apa?"
Tanyanya.
Mungkin
karena aku terlalu sering menatapnya, Yukinoshita jadi mengeryitkan alis
matanya karena tak senang dan balas menatapku.
"Oh, maaf. Aku hanya bingung
harus berbuat apa."
"Bingung?"
"Soalnya, tanpa penjelasan
apa-apa aku dipaksa kemari."
Disertai
suara berdecak dari mulutnya, dengan tegas Yukinoshita menutup buku bacaannya;
seolah ingin menunjukkan kekesalannya ke seluruh dunia. Lalu setelah menyayatku
dengan tatapan tajamnya, ia pun menghela napas karena pasrah dan mulai
berbicara.
"Benar juga... ya sudah, kita
adakan permainan."
"Permainan?"
"Benar. Permainan menebak
identitas klub ini. Jadi menurutmu, klub apa ini?"
Permainan
di ruang tertutup bersama seorang gadis cantik...
Dan
aku merasa jika ini bukan sesuatu yang akan menjurus ke adegan mesum. Daripada
disebut permainan yang seru, suasana yang ditampakkan Yukinoshita lebih seperti
sedang mengasah belati hingga tajam. Saking tajamnya sampai-sampai aku berpikir
akan mati jika aku kalah di permainan ini. Hilang ke mana suasana komedi
romatis yang tadi? Bukannya ini malah seperti adegan di dalam manga
Kaiji?[9]
Karena
takutnya diriku akan kalah, keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku pun
akhirnya meninjau baik-baik ruangan ini untuk mencari petunjuk.
"Apa ada anggota lagi selain
dirimu di klub ini?"
"Tak ada."
Jika
memang demikian, lalu bagaimana caranya klub ini bisa bertahan, ya? Pertanyaan
bagus.
Cukup
sudah. Tak ada petunjuk sama sekali.
Eh,
tunggu. Sebaliknya, hal tersebutlah petunjuknya. Bukan bermaksud sombong sih,
namun karena sedari kecil aku sudah jarang berteman, bisa dibilang aku
benar-benar jago jika dalam permainan satu orang. Aku cukup percaya diri jika
menyelesaikan soal semacam TTS atau sejenisnya. Malah kupikir, mungkin aku pun
bisa menang dalam lomba cerdas cermat antar-SMA. Jadi inilah perkiraanku: Jika
ini adalah klub yang tak bisa lagi merekrut anggota baru, maka anggota lain
selain dirinya takkan pernah ada. Banyak yang bisa aku tangkap dari hal
tesebut. Dan jika menyatukan fakta-fakta barusan, maka jawabannya sudah jelas—
"Klub Sastra?"
"Oh? Lalu alasannya?"
Yukinoshita bertanya penuh antusias.
"Lingkungannya yang khas; tak
begitu memerlukan perlengkapan khusus dalam kegiatannya; dan fakta kalau klub
ini tak dibubarkan meski kekurangan anggota. Singkatnya, kegiatan klub ini tak
membutuhkan banyak biaya. Terlebih, kau sedang membaca buku. Jawabannya pun
sudah kautunjukkan dari awal."
Menurutku
itu hipotesis yang sempurna. Meski tanpa bantuan dari anak SD berkaca mata,[10]
aku masih bisa menjelaskannya dengan gamblang. Ini perkara mudah.
Hal
itu harusnya membuat sang Nona Yukino merasa kagum dan berkata Begitu
rupanya... sambil diselingi sedikit rasa kesal.
"Salah."
Dengan
nada tegas ia menjawab, yang kemudian diselingi tawa sinis.
Kini
ia malah membuatku jengkel. Memangnya dirinya itu Manusia Super Sempurna yang
tanpa cela, apa? Justru ia tampak seperti Manusia Super Kejam.[11]
"Jadi, ini klub apa?"
Yukinoshita
tampak tak peduli dengan tanggapanku yang sedikit mengesankan rasa jengkel
tadi. Ia kemudian memberi penjelasan, sebagai tanda bahwa permainan ini masih
tetap berjalan.
"Baiklah, akan kuberi petunjuk.
Kegiatan klub ini melibatkan keikutsertaan diriku."
Akhirnya
petunjuk yang ditunggu-tunggu muncul. Tapi tetap saja tak sedikit pun membantu.
Ujung-ujungnya aku malah kembali ke jawabanku sebelumnya — Klub Sastra.
Tunggu
dulu... tunggu sebentar dan tenanglah dulu. Santai saja. Santailah dulu, Hachiman
Hikigaya.
Ia
bilang tadi tak ada lagi anggota klub selain dirinya. Meski begitu, klub ini
masih bisa tetap aktif.
Dengan
kata lain, bisa saja ada anggota tak terlihat, contohnya seperti hantu, ya
'kan? Lalu yang ganjil dalam cerita ini adalah, anggota tak terlihat itu
ternyata memang benar-benar hantu. Akhirnya kisah komedi romantis ini pun
berkembang ke hubungan antara diriku dengan seorang hantu perempuan jelita.
"Komunitas Penelitian Hal Gaib!"
"Yang kutanyakan adalah klub."
"Eng... Klub Penelitian Hal
Gaib!"
"Salah..." Ia pun
menghela napas. "Konyol sekali. Mana ada yang namanya hantu."
Padahal
ia bisa saja berkata layaknya gadis manis seperti, Ma-mana ada yang namanya
hantu! A-aku bilang begitu, bu-bukannya karena aku takut lho, ya. Yang
terjadi justru ia memandangku dengan pandangan yang begitu menghina. Seolah
matanya berkata Orang-orang bodoh, mati saja sana.
"Aku menyerah. Aku benar-benar
tak tahu."
— II —
Yah, andai aku bisa mengira-ngira apa maksudnya. Mestinya ia bisa membuat hal ini jadi lebih mudah, 'kan? Minimal petunjuk semacam, Di atas rumahmu ada banjir air mata, tapi di bawahnya ada panas yang menyala-nyala — Kenapa bisa begitu? Sudah jelas karena rumahmu sedang kebakaran. Tapi kalau yang begini namanya bukan lagi tebak-tebakan; ini malah seperti teka-teki.
"Hikigaya. Kapan terakhir kali
kau bicara dengan seorang gadis?"
Tiba-tiba
saja ia keluar dari topik dan menanyakan hal tersebut untuk mengalihkan
perhatian. Sungguh perempuan yang lancang.
Aku
cukup yakin dengan kemampuan mengingatku. Bahkan aku bisa mengingat beberapa
omongan tak penting yang sering dilupakan orang, jadinya malah banyak perempuan
di kelasku yang menganggap aku seperti seorang penguntit.
Berdasarkan
daya ingat hipokampus[12]
milikku yang di atas rata-rata ini, terakhir kalinya aku berbincang dengan
seorang gadis yaitu pada Bulan Juni dua tahun lalu.
Gadis: Tempat ini rasanya panas banget, ya?
Aku: Iya... seperti dikukus, ya?
Gadis: Hah? ...ah, iya. Sepertinya
begitu...
Tamat
Seperti itulah contohnya. Yah, dan sejak saat itu ia cuma mau mengobrol dengan perempuan di belakangku saja. Manusia memang cenderung lebih mengingat hal-hal yang tak menyenangkan. Sampai sekarang pun, jika teringat kembali kejadian itu, cepat-cepat saja aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut lalu menjerit.
Belum
pula selesai ingatan tentang kenangan pahit tersebut, Yukinoshita langsung
memberi penjelasan dengan suara lantang,
"Orang yang sering menawarkan
bantuan sebagai bentuk amal bagi mereka yang kekurangan. Ialah yang orang-orang
sebut sebagai Sukarelawan. Menyediakan bantuan dalam hal pembinaan bagi
negara-negara berkembang; menyediakan makanan bagi para tunawisma; membuat para
lelaki yang tak populer agar bisa bercengkerama dengan perempuan; tangan yang
selalu terulur bagi mereka yang membutuhkan. Seperti itulah kegiatan klub ini."
Tanpa
kusadari, Yukinoshita pun telah berdiri dan tentu saja pandangannya tertunduk
ke arahku.
"Selamat datang di Klub Layanan
Sosial. Dengan senang hati aku menyambutmu."
Tanpa
tedeng aling-aling ia berkata demikian di depanku. Perkataannya bahkan sampai
membuat mataku berkaca-kaca. Seperti sedang menabur garam pada sebuah luka,
yang ia katakan justru membuatku semakin depresi.
"Sesuai ajaran Bu Hiratsuka,
sudah jadi tugas bagi orang yang diberkati untuk menyelamatkan orang yang tak
berdaya. Sebagai bentuk tanggung jawabku, akan kupastikan permintaan beliau ini
terpenuhi. 'Kan kuperbaiki masalah yang kaualami. Jadi, bersyukurlah."
Mungkin
yang dimaksudkannya itu Noblesse Oblige, yang dalam Bahasa Perancis
berarti wewenang yang dimiliki kaum bangsawan sebagai wujud keluhuran serta
kedermawanan. Kenyataannya, meski hanya dinilai dari peringkat kelas serta
penampilan luarnya saja, namun tidaklah berlebihan jika Yukinoshita dianggap
layaknya seorang bangsawan.
"Dasar kau..."
Namun
sayangnya, sebagai lelaki aku harus membalas perkataannya tadi agar tak menjadi
satu-satunya pihak yang dikasihani di sini.
"Asal kau tahu, ya... mungkin
kelihatannya saja begini, tapi sebenarnya aku lumayan berbakat! Aku mendapat
peringkat ketiga dalam ujian Bahasa Jepang untuk jurusan IPS tahun ini! Cukup
hebat untuk orang dengan tampang sepertiku, 'kan? Jika kau mengenyampingkan
fakta tentang diriku yang tak punya teman maupun pacar, standar diriku ini
lumayan tinggi, tahu!"
"Meski yang kudengar barusan
hanyalah omong kosong... hebat juga kau, bisa bicara dengan penuh percaya diri
seperti itu. Kau ini memang aneh. Sampai-sampai membuatku jijik."
"Berisik. Aku tak minta
pendapat dari perempuan aneh sepertimu."
Memang
dasar perempuan aneh... atau apalah sebutan yang digosipkan ke dirinya. Dari
yang orang bilang, Yukino Yukinoshita memang sangat bertolak belakang dengan
yang ia tampakkan di luar. Orang-orang pasti mengira ia hanya seorang gadis
jelita yang bersahaja. Padahal kini ia sedang menyunggingkan senyum dingin.
Atau jika ada kata yang lebih tepat mendekripsikannya, mungkin sebuah senyum
kejam.
"Hmm? Dari yang kuamati,
terlihat jika sifat busuk dan menentang yang kaumiliki itu akibat sikap
penyendirimu." Langsung saja Yukinoshita berkesimpulan begitu. "Pertama-tama,
akan kucarikan tempat bagimu di masyarakat. Aku tak bisa meninggalkanmu sendiri
dengan ketakberdayaan dirimu itu. Kau tahu? Tempat yang tepat akan
menyelamatkanmu dari takdir menyedihkan seperti membakar diri agar berpijar
seperti bintang."
"Bintang Yotaka,[13]
maksudmu, 'kan? Mainstream banget."
Kalau
saja aku ini bukan orang jenius yang peduli budaya dan mendapat peringkat
ketiga dalam ujian Bahasa Jepang, mungkin aku tak tahu cerita apa yang ia
singgung. Terlebih, cerita itu memang cerita favoritku, makanya aku bisa ingat.
Cerita yang sangat tragis hingga sempat membuatku menangis. Jenis cerita yang
mungkin saja bisa dinikmati semua orang.
Mata
Yukinoshita terbelalak kaget setelah mendengar jawabku.
"Sungguh tak disangka... tak
pernah kubayangkan jika rata-rata pelajar SMA seperti kau juga membaca karya
Kenji Miyazawa."
"Jadi kau menyepelekanku,
begitu?"
"Maaf, kalau aku berlebihan.
Mungkin lebih tepat jika kubilang di bawah rata-rata?"
"Masa bodoh dengan anggapanmu!
Bukannya tadi kubilang kalau aku mendapat peringkat ketiga di tahun ini?"
"Sungguh menyedihkan jika kau
berpikir bahwa dirimu hebat hanya karena pernah mendapat peringkat ketiga.
Terlebih lagi, menggunakan nilai ujian sebagai satu-satunya acuan justru
membuatmu terdengar tak intelek."
Merendahkan
orang lain juga ada batasnya, tahu. Memperlakukan orang yang baru dikenal
seperti memperlakukan ras rendahan. Memangnya aku harus punya pengetahuan
setingkat Pangeran Bangsa Saiya baru mau ia akui, begitu?[14]
"Tahu, tidak? Cerita Bintang
Yotaka memang mirip dengan dirimu kok. Ambil contoh, ya rupa si Yotaka itu."
"Jadi maksudmu wajahku ini
cacat...?"
"Aku tak bilang begitu, ya. Aku
hanya bilang, kenyataan kadang memang kejam..."
"Itu sama saja!"
Di
titik ini, Yukinoshita memasang wajah serius sembari menaruh tangannya di
bahuku.
"Jangan lari dari kenyataan.
Kalau kau mau lihat yang sebenarnya, bercermin sana."
"Tunggu, tunggu. Bukan
bermaksud pamer, tapi bisa dibilang kalau wajahku ini memang lumayan tampan.
Adikku juga pernah berkata begitu, meski dengan embel-embel, Itu kalau Kakak
sedang diam, sih... tapi itu tandanya, ia mau bilang jika hal menarik di
diriku ini, ya tampangku."
Adikku
memang hebat. Matanya memang jeli... tak seperti kebanyakan perempuan di
sekolah ini.
Yukinoshita
menempelkan tangan di pelipis wajahnya, layaknya orang yang sedang sakit
kepala.
"Kau ini bodoh, ya? Yang
namanya ketampanan itu tak dinilai hanya dari pendapat pribadi. Intinya, karena
di ruangan ini hanya ada kau dan aku, maka pendapatku yang lebih objektif
inilah yang paling benar."
"Me-meski agak membingungkan,
entah kenapa pendapatmu tadi terasa ada benarnya..."
"Sekarang kita bahas mulai dari
kedua matamu, soalnya, masalahmu ini bersumber dari mata yang persis ikan mati
itu. Dari situ saja sudah bisa memberi berbagai kesan negatif. Yang kumaksud
ini bukanlah ciri wajahmu, melainkan ekspresi wajahmu yang memang sama sekali
tak menarik. Itu adalah tanda dari pembawaanmu yang sudah menyimpang."
Yukinoshita
memasang wajah manis saat ia berbicara, padahal di dalamnya sendiri begitu
bertolak belakang. Ekspresi yang ia tampakkan justru lebih seperti seorang
penjahat. Nah, siapa yang lebih mirip orang baik-baik sekarang?
...lagi
pula, memangnya mataku ini benar-benar mirip ikan, begitu? Andai aku seorang
perempuan, mungkin aku akan berpikir positif dengan bilang, Masa, sih? Kalau
begitu aku mirip putri duyung, dong.
Dengan
diriku yang masih merenungi hal barusan, Yukinoshita mengibaskan rambutnya ke
belakang dan berkata seolah-olah ia telah menang,
"Pada intinya, merasa percaya
diri hanya karena hal-hal sepele semacam peringkat kelas ataupun penampilan
fisik, sungguh tidaklah keren. Dan dari yang kusebut tadi masih belum termasuk
mata busukmu itu lho, ya."
"Sudah, jangan terus-menerus
membahas mataku!"
"Kau benar. Meski aku
terus-menerus membahasnya, matamu juga tetap takkan berubah."
"Minta maaf dulu sama orang
tuaku sana."
Kuakui
wajahku menyengir saat mendengar jawabnya. Yukinoshita pun langsung berlagak
murung seolah-olah merenungi perkataannya tadi.
"Benar juga, perkataanku tadi
sudah kelewatan. Ini pasti hal berat bagi orang tuamu."
"Sudah-sudah, hentikan!"
Aku memohon, dengan mata yang hampir menangis. "Ini memang salahku!
Bukan, ini salah wajahku! Puas?"
Yukinoshita
langsung menghentikan kata-kata pedasnya. Aku pun segera sadar bahwa sia-sia
jika berusaha membalas perkataannya. Sejenak, aku terhanyut dalam imajinasi
diriku yang bersemedi di bawah pohon Buddha guna mendapat pencerahan. Dan
Yukinoshita kembali melanjutkan pembicaraannya.
"Baiklah, simulasi perbincangan
ini telah selesai. Jika kau mampu mengobrol sampai sebanyak ini denganku, maka
kau pun mampu berbuat hal yang sama dengan orang lain."
Sembari
merapikan rambut dengan tangan kanannya, ekspresi wajah Yukinoshita tampak
dipenuhi rasa puas. Ia pun tersenyum senang setelahnya.
"Mulai sekarang kau bisa
menjalani hidup yang lebih baik dengan berbekal kenangan berharga ini, meski
itu tanpa bantuan dari siapa-siapa."
"Kurasa kau sedang berkhayal."
"Yah, kalau begitu, berarti
permintaan Bu Hiratsuka belum terpenuhi... mau tak mau, memang harus memakai
pendekatan yang lebih mendasar, seperti... membuatmu berhenti datang ke
sekolah."
"Itu namanya bukan solusi, tapi
cuma menutup-nutupi bau busuk."[15]
"Wah, jadi kau sudah sadar
kalau kau itu busuk?"
"Begitu, ya? Pantas saja selama
ini aku dipandang sebelah mata dan dijauhi orang-orang." Tak
masalah sih, lebih baik kuladeni saja perkataannya.
"...dasar payah."
Setelah
kutertawa kecil karena komentarku yang menyindir tadi, Yukinoshita menatapku
seakan hendak berkata, Kenapa juga orang seperti ini masih hidup? Dan
seperti yang pernah kubilang, tatapannya memang membunuh.
Lalu
keheningan pun mulai menghinggapi ruangan, cukup hening untuk membuat telingaku
sakit, mungkin sakit ini karena aku selalu saja membiarkan Yukinoshita berkata
seenaknya.
Akan
tetapi, keheningan ini mendadak pecah karena suara menggema dari gebrakan pintu
yang ditarik paksa oleh seseorang.
— II —
"Yukinoshita. Ibu masuk, ya."
"Tolong kalau Ibu mau masuk,
ketuk du—"
"Iya, iya. Jangan diambil hati,
lanjutkan saja. Ibu cuma mampir memeriksa keadaan."
Bu
Hiratsuka menyandarkan badannya ke tembok sambil melemparkan senyum pada
Yukinoshita. Lalu beliau pun kembali mengarahkan pandangannya pada kami berdua.
"Wah, wah, tampaknya kalian
sudah akrab." Bisa-bisanya beliau berkesimpulan begitu? "Hikigaya,
tetap semangat, ya. Tetap fokus pada program rehabilitasi sikap menentangmu dan
juga penyembuhan mata busuk milikmu itu. Ibu mau balik dulu. Jaga diri kalian
saat pulang nanti, ya."
"Eh, eh, tunggu dulu!"
Spontan
kugenggam tangan Bu Hiratsuka agar beliau tak pergi. Namun tiba-tiba—
"Aduh! Aduh-duh-duh! Ampun!
Ampun, Bu, saya menyerah!"
Tahu-tahu
lenganku sudah terkunci. Setelah meronta-ronta dan memohon ampun, beliau
akhirnya melepaskanku.
"Oh. Rupanya kau toh, Hikigaya.
Jangan tiba-tiba berdiri di belakang Ibu, dong... Ibu jadi refleks, deh."
"Memang Ibu ini Golgo, apa?[16]
Lagi pula, apanya yang refleks? Jangan langsung tiba-tiba begitu, dong!"
"Bukannya kau yang mulai
duluan? ...memangnya ada masalah apa?"
"Ya, Ibu itu sumber
masalahnya... terus, apa maksud Ibu dengan program rehabilitasi? Itu
malah terdengar seolah-olah saya ini anak bermasalah, ya 'kan? Sebenarnya ini
tempat apa, sih?"
Bu
Hiratsuka memegang dagunya sejenak.
"Yukinoshita sudah
menjelaskannya padamu, 'kan? Intinya, tujuan utama klub ini adalah membantu
mengatasi permasalahan seseorang dengan cara mendorongnya agar berkembang.
Anggap saja tempat ini seperti Ruang Jiwa dan Waktu.[17]
Atau gampangnya, seperti cerita dalam Shoujo Kakumei Utena itu, lho."[18]
"Ilustrasi yang Ibu berikan
malah tambah bikin bingung... secara tak langsung malah memberi tahu berapa
usia Ibu."
"Kau tadi bilang apa?"
"...eh, bukan apa-apa."
Aku
langsung mengecilkan suaraku, mencoba menghindar dari tatapan dingin Bu
Hiratsuka. Beliau lalu menghela napasnya sembari mengamatiku.
"Yukinoshita, kelihatannya
program rehabilitasimu menemui kesulitan."
"Itu semua karena ia tak sadar
kalau pada kenyataannya dirinya sendiri bermasalah." Dengan ketus
Yukinoshita menjawab.
Rasanya
aku tak sanggup berada di tempat ini lebih lama lagi. Ini terasa seperti ketika
orang tuaku menemukan koleksi majalah porno milikku sewaktu aku masih kelas 6
SD yang membuat mereka menceramahiku habis-habisan.
Tapi
jika kupikir lagi, mungkin ini tak sampai seburuk itu.
"Maaf, ya... dari tadi kau dan
Bu Hiratsuka membahas tentang program rehabilitasi, lalu pengembangan diri,
lalu revolusi, lalu gadis revolusioner, lalu apalah lagi itu namanya, padahal
tak sekalipun aku pernah meminta hal tersebut..."
"Hmm..." Bu Hiratsuka
memiringkan kepalanya karena tak mengerti.
"Kau ini bicara apa?"
Tegas Yukinoshita. "Jika kau tak bisa berubah, nantinya kau akan
kesulitan dalam bermasyarakat."
Tampak
dari wajahnya jika pendapat yang ia lontarkan itu seolah menyiratkan hal seperti,
Tak ada gunanya berperang, jadi buang semua senjatamu.
"Sudah terlihat kalau sisi
kemanusiaanmu itu benar-benar rendah bila dibandingkan orang lain. Apa kau tak
pernah terpikir ingin mengubah sisi tersebut?"
"Bukan begitu... hanya saja,
aku tak mau orang lain terus memaksaku agar berubah, memaksaku supaya sadar
akan diriku sendiri. Lagi pula, jika akhirnya aku berubah karena nasihat orang
lain, maka aku takkan bisa jadi diriku sendiri, ya 'kan? Dikatakan jika
sebuah jati diri—"
"Hal tersebut tak bisa dilihat
dari pendapat satu orang saja."
Usahaku
agar terlihat hebat dengan mengutip ucapan Descartes, justru langsung disela
oleh Yukinoshita... padahal aku sedang mengatakan hal yang lumayan keren.
"Yang kaulakukan hanyalah lari
dari masalah. Jika kau masih belum berubah, kau takkan bisa maju."
Ucapan
Yukinoshita terasa sangat menusuk. Kenapa ia harus selalu bersikap kasar
begitu? Memangnya orang tuanya itu kepiting, apa?
"Memangnya kenapa kalau aku
lari dari masalah? Kau sendiri dari tadi hanya terus-menerus menyuruhku untuk
berubah. Lagi pula, memangnya kau bisa menghadap matahari dan berkata, Hei,
Matahari, Kau terlalu lama terbenam di barat dan orang-orang jadi terganggu,
jadi mulai sekarang terbenam saja di timur. Begitu?"
"Kau melantur. Tolong jangan
menyimpang dari pokok permasalahan. Bukan matahari yang bergerak mengelilingi
bumi, melainkan bumi yang bergerak mengelilingi matahari. Kau tak pernah tahu
Teori Heliosentris, ya?"[19]
"Itu hanya perumpamaan! Kalau
kaubilang aku melantur, berarti ucapanmu selama ini juga melantur, dong. Bila
aku akhirnya berubah, berarti sama saja aku lari dari masalah, ya 'kan? Lalu
untuk apa kau menyuruhku agar tak lari dari masalah? Kalau memang aku tak
berniat mau lari dari masalah, maka aku takkan mengubah diriku yang sekarang.
Lagi pula, kenapa kau tak bisa menerima apa adanya diriku ini?"
"Jika seperti itu... maka
permasalahan ini tak bisa terselesaikan dan tak seorang pun bisa diselamatkan."
Seiring
kata-kata yang terlontar dari mulut Yukinoshita, ekspresi wajah yang ia
tampakkan sudah seperti orang yang sedang naik pitam. Tak sengaja diriku
tersentak. Mungkin saja aku sudah siap meminta maaf dan langsung berkata, Ma-ma-ma-maaf,
ya!. Bicara soal itu, yang ia katakan tadi bukanlah hal yang biasa
dibicarakan oleh murid-murid SMA. Aku hanya tak mengerti alasan ia berbuat
sampai sejauh ini.
"Kalian berdua tenanglah dulu."
Suara Bu Hiratsuka mulai menenangkan suasana, atau sebaliknya, malah membuat
suasana jadi lebih tak mengenakkan. Bahkan beliau sekilas menyengir menampakkan
harapan dan kegembiraannya.
"Hal ini mulai semakin menarik.
Ibu suka perkembangan yang seperti ini. Terasa JUMP banget deh. Ya 'kan?"[20]
Entah
kenapa hanya Bu Hiratsuka saja yang merasa antusias. Daripada disebut sebagai
wanita dewasa, tatapan beliau lebih seperti seorang anak kecil.
"Sejak zaman dahulu kala,
ketika dua pihak saling beradu mengatasnamakan keadilan, maka dalam shounen
manga mereka akan menyelesaikan permasalahannya itu dengan cara bertanding."
"Tapi kita kan tak
sedang di dalam shounen manga..." Tak ada yang
memerhatikanku bicara.
Beliau
pun tertawa sembari mengalihkan pandangannya ke arahku dan Yukinoshita,
kemudian memberi pengumuman dengan suara keras.
"Baiklah, begini saja. Mulai
sekarang, Ibu akan menggiring domba-domba tersesat untuk datang ke klub ini, di
mana kesemuanya itu akan berada dalam pengawasan Ibu. Tugas kalian adalah
berusaha menolong mereka dengan cara kalian sendiri. Dengan begini, kalian bisa
segenap hati membuktikan kebenaran yang kalian yakini itu kepada orang-orang.
Jadi, kira-kira siapakah yang bisa menolong mereka?! Gundam Fight. Ready
— Go!"[21]
"Saya menolak."
Jawab Yukinoshita dengan nada ketus.
Tampak
di matanya sebuah tatapan dingin yang sempat ia tujukan padaku barusan. Yah,
aku pun setuju dengannya, makanya aku menganggukkan kepala. Lagi pula, serial G
Gundam juga bukan dari generasi kami.
Bu
Hiratsuka melihat keengganan kami dan menggigit kukunya karena frustasi.
"Bukan itu masalahnya..."
Hal seperti
Medabots itu sudah terlalu mainstream...
"Maaf, Bu. Tolong jangan
bertingkah terlalu kekanak-kanakan. Hal itu tak pantas untuk orang seumuran Ibu
dan itu juga sangat memalukan."
Kata-kata
menusuk yang terlontar dari mulut Yukinoshita bagaikan paku-paku es yang tajam.
Tak begitu jelas apakah Bu Hiratsuka mulai berangsur tenang, yang pasti wajah
beliau langsung memerah karena malu. Beliau lalu berdeham untuk menutupi rasa
malunya.
"Po-pokoknya, cara untuk
membuktikan kebenaran yang kalian yakini yaitu dengan tindakan kalian sendiri!
Jika Ibu suruh kalian bertanding, maka harus kalian turuti. Kalian tak punya
hak untuk menolak."
"Itu terlalu otoriter..."
Beliau
memang seperti anak kecil! Bagian yang tampak dewasa di dirinya hanya
payudaranya saja. Yah, jika itu adalah hal konyol seperti bertanding, maka
dengan senang hati aku akan mengalah. Lagi pula, hanya mendapat bintang jasa
untuk kerja kerasku bukanlah hal yang buruk... cukup naif dan berlebihan jika
beranggapan bahwa ada maksud tersendiri mengenai keikutsertaan dalam
pertandingan ini.
Meski
begitu, komentar konyol bertemakan shounen manga masih saja dimuntahkan
oleh wanita kekanak-kanakan ini.
"Agar pertandingan kalian tak
terasa sia-sia, akan Ibu beri sesuatu yang bisa menambah motivasi kalian.
Bagaimana kalau begini? Pihak yang menang boleh menyuruh pihak yang kalah untuk
melakukan apa saja keinginannya."
"Apa saja, ya!?"
Apa
saja itu,
maksudnya apa saja boleh, 'kan? Jangan-jangan yang begituan juga boleh,
ya? Glek.
Mendadak
kudengar suara kursi yang terdorong ke belakang. Yukinoshita sudah mundur dua
meter, menutupi tubuhnya dengan kedua tangan dalam posisi melindungi diri.
"Saya menolak. Saya merasa jika
bertanding dengan anak ini bisa membahayakan kesucian saya."
"Itu cuma prasangkamu! Tak
semua anak kelas dua SMA khususnya laki-laki selalu berpikir ke arah sana!"
Masih
banyak hal lain, contohnya... oh, iya! Perdamaian dunia, mungkin? Atau hal-hal
semacamnya, begitu? Yah, setidaknya itulah yang kupikirkan.
"Wah, wah. Bahkan seorang
Yukino Yukinoshita pun bisa merasa takut... apa kau tak yakin bisa menang?"
Bu Hiratsuka mengatakannya dengan tampang mengejek. Yukinoshita terlihat
sedikit tersinggung.
"...baiklah. Meski provokasi
murahan itu terasa mengganggu, tapi akan saya terima. Kalau ada apa-apa, saya
juga bisa menyerahkan segala urusan anak ini kepada Ibu."
Wuih... bicara soal pecundang yang
tersakiti. Rupanya Yukinoshita orang yang benci terhadap kekalahan, seolah ia
berkata, Aku tahu apa niatmu sesungguhnya, namun ia masih saja mau
mengikutinya. Lalu, apa maksudnya ia berkata Menyerahkan segala urusan?
Sudahlah, tak usah selalu bersikap sekejam itu.
"Kalau begitu, sudah
diputuskan." Bu Hiratsuka menyengir tanpa menghiraukan tatapan
Yukinoshita.
"Tunggu, saya kan belum
bilang setuju..." Aku menyela.
"Tak ada gunanya meminta
pendapatmu, dan tak ada juga yang memintamu menyengir." Balas
Yukinoshita.
Ya
sudah...
"Ibulah yang menentukan siapa
yang berhak menang. Keputusan yang Ibu ambil tentunya didasari penilaian Ibu
sendiri, tapi kalian jangan cemas... lakukan saja cara kalian itu dengan patut
dan wajar, lalu berikanlah yang terbaik."
Setelah
berkata demikian beliau pun lalu pergi, meninggalkan kesan tak menyenangkan
pada diriku serta Yukinoshita.
Tentunya,
setelah itu ruangan menjadi sepi dan tak ada perbincangan lagi di antara kami.
Suasana hening ini lalu sirna oleh suara dari siaran radio sekolah. Bunyi bel
tiruan mulai bergema. Seiring dengan melodi yang berangsur tersamar,
Yukinoshita langsung menutup buku bacaannya. Bunyi bel barusan pasti pertanda
berakhirnya kegiatan sekolah.
Bersamaan
dengan bunyi itu, Yukinoshita segera bersiap untuk pergi. Dengan hati-hati ia
memasukkan buku bacaannya ke dalam tas. Ia sekilas memandang ke arahku. Tanpa
mengucapkan Sampai jumpa atau Sampai ketemu lagi, ia pergi begitu
saja. Aku pun tak punya kesempatan untuk membalas sikap dinginnya.
Dan
sekarang, tinggal diriku sendiri yang ada di ruangan ini. Apa hari ini memang
hari sialku, ya? Dipanggil ke ruang guru, dipaksa bergabung ke klub misterius,
dikata-katai oleh gadis yang hanya cantik di luarnya saja... Yang tertinggal di
sini hanyalah diriku yang terluka parah secara mental.
Bukankah
hati kita akan berdegup kencang bila sedang bicara dengan seorang gadis? Tapi
yang terjadi, ia justru membuat hatiku tenggelam dalam keputus-asaan.
Jika
terus begini, lebih baik aku bicara dengan hewan peliharaan saja. Hewan
peliharaan takkan pernah membantah dan selalu tersenyum pada majikannya. Kenapa
aku tak terlahir menjadi seorang masokis saja, ya?[23]
Dan di
atas semua itu, kenapa aku dipaksa ikut dalam pertandingan yang tak ada gunanya
ini? Jika Yukinoshita yang jadi lawanku, kurasa aku juga takkan bisa menang.
Jangan-jangan pertandingan tadi itu salah satu kegiatan klub. Saat berpikir
tentang kegiatan klub, yang kubayangkan justru sekumpulan gadis-gadis yang
membentuk sebuah grup band, seperti cerita dalam DVD yang pernah kutonton.[24]
Kalau kegiatan yang seperti itu sih, menurutku masih masuk akal.
Tapi
jika ceritanya berlanjut seperti ini, bagaimana kami bisa akur? Boro-boro,
deh. Mungkin bisa saja ia dengan santai menyuruhku sambil berkata, Napasmu
bau, jadi bisa tidak, jangan bernapas dulu sampai tiga jam ke depan?
Sudah
kuduga, masa remaja tak lain hanyalah sebuah kebohongan.
Setelah
kalah dalam turnamen bisbol di tahun ketiga, mereka menitikkan air matanya
supaya bisa terlihat keren. Setelah gagal di ujian masuk perguruan tinggi,
mereka bersikukuh menganggap bahwa kegagalan hanyalah bagian dari pengalaman
hidup. Setelah ditolak saat menyatakan cinta pada orang yang disukai, mereka
menipu diri sendiri dan berpura-pura lugu dengan berkata kalau mereka rela asal
itu demi kebahagiaan orang tersebut.
Lalu
ada juga yang begini: Sesuatu yang ditunggu-tunggu seperti kisah komedi
romantis dengan gadis tsundere[25]
yang tak ramah dan menjengkelkan, ternyata takkan pernah terjadi. Aku pun tak
yakin jika esaiku ini perlu diperbaiki.
Sudah
kuduga, masa remaja hanyalah omong kosong, penipuan, dan penuh kecurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar